35 hari yang lalu, aku bersalaman dengannya. Ia tersenyum dalam balutan kemeja hitam yang membungkus tubuhnya dan membuatnya terlihat lebih kurus. Saat itu tangannya terasa hangat, sehangat candanya yang membingkai keceriaan di hari pernikahan adiknya.
Malam ini ia mengenakan kemeja putih lengan pendek. Ia tak tersenyum saat berjabat tangan denganku. Tangannya pun terasa dingin, sedingin udara malam yang menebarkan aroma hujan, sedingin suhu tubuh ayahandanya yang telah dipanggil pulang ke sisi-Nya.
Aku menatapnya. Mengamati kesibukannya. Ia berbincang sopan dengan para kerabat dan koleganya. Sesaat mengeluarkan dompetnya dan memberikan pengarahan. Rangkulannya yang lembut menenangkan kesedihan ibundanya.
Dan aku hanya duduk disana. Larut dalam duniaku yang penuh dengannya.
Ketika salah seorang teman kami tiba, aku masih tak melakukan apa-apa. Hanya melantunkan sebait doa bagi ayahnya. Hingga malam tiba dan kukatakan sampai jumpa.
Kubaringkan tubuhku namun tetap terjaga. Kutumpahkan emosiku dalam tangis tanpa suara.
Aku belum berhenti berandai. Jika saja waktu itu aku tak menjauh. Jika saja cintaku lebih besar dari egoku. Jika saja aku mampu membantumu saat kau membutuhkanku. Jika saja aku bisa berada di sisimu. Jika saja aku mampu diandalkan. Jika saja aku layak. Jika saja mengikhlaskanmu membuatmu tertawa untukku seperti dulu.
Aku mencintaimu.
Dan kini rasa bersalah itu menggerogoti hatiku. Membawaku kembali ke kesadaran akan siapa aku.
Membuatku terhenti dalam mengejar cinta itu. Membekukanku dalam ingatan akan rapuhnya aku. Menyadarkanku bahwa mencintaimu hanya akan menorehkan luka yang lebih dalam bagimu.
Maafkan aku..
No comments:
Post a Comment